Beberapa waktu lalu, saya dan sepupu ber-traveling ke Ho Chi Minh City (yang kini dikenal dengan kota Saigon) ibukota Vietnam Selatan. Mengapa kami ambil Vietnam? Karena dari Vietnam, kami bisa ber-land trip ke Kamboja dan Laos, dan negara-negara tersebut saling berdekatan.
Kehidupan Di Saigon Lebih Parah Dibanding Jakarta
Perjalanan pertama dari Jakarta – Saigon memakan waktu 3 jam, berangkat pukul 16.30 Wib tiba pukul 19.30 Wib dan tidak ada perubahan waktu antara Indonesia dengan Vietnam.
Rasanya aneh. Bandara Tan Shon Nhat buat kami terlalu sepi untuk sebuah bandara, seluruh petugas
imigrasi menggunakan masker. Jadi bagi kami, unsur ramah tidak terlihat dari mereka. Setelah mengurus segala sesuatunya di imigrasi, kami pun menukar uang. Ternyata $1 USA sebesar 18.000 VND (Vietnam Dong) dan memesan taksi dari bandara ke hotel yang sudah kami pesan dari Jakarta.
Hotel yang kami pesan di Le Tan Thon Street bagi kami cukup mahal yaitu $25 atau Rp 250.000 rupiah, kami terpaksa nginap karena pertimbangannya lebih pada kemudahan dan kenyamanan saja.
Sepanjang perjalanan ke hotel, Saigon bagi kami seperti kota sepeda motor. Perbandingan antara mobil dengan motor lebih banyak motor. Cukup semrawut, tidak jauh beda dengan Jakarta, tapi buat kami Jakarta agak lebih teratur.
Bahkan penduduk lokalnya pun mengakui bahwa motor disini tidak teratur, sehingga jumlah kecelakaan yang paling banyak terjadi adalah kecelakaan motor. ”Hospital is busy,” katanya.
Ditipu Sopir Taksi
Ada pengalaman menarik yang kami dapati sesampainya di hotel. Kami berdua kelaparan, dan tidak tahu harus makan apa dan dimana. Kami kembali membuka peta yang kami ambil di airport dan membaca buku referensi tentang Vietnam terbitan Lonely Planet yang kami beli di Jakarta.
Setelah memutuskan akan makan apa, kami pun keluar dari hotel dan memberhentikan taksi. Kurangnya dari kota ini adalah, kurangnya warga yang mengerti dan bisa berbahasa Inggris termasuk supir taksi. Jadi terpaksa kami menggunakan isyarat dengan memperlihatkan letak tempat makan yang sudah kita pilih.
Beberapa menit berjalan, kami melihat argo taksi cepat sekali berganti. Dan perasaan kami, supir ini hanya membawa kami berputar-putar. Sampai akhirnya kami diberhentikan ditempat makan yang sebetulnya bukan itu yang kami tuju, tapi sudahlah, paling tidak jenis makanannya sama seperti yang kita inginkan, Pho / noodle/ mie itu jenis makanannya.
Sejenak kami berfikir, argo yang tertera sebesar 37 VND. Kami berikan 100 VND. Tidak sangka sang supir marah. Kami tidak tahu apa salah kami. Dia bicara bahasa planet mana yang kami sama sekali tidak tahu maksudnya. Akhirnya kami pun dengan terpaksa mengeluarkan uang kami, dan sang supir mengambil 370.000 VND.
Gantian kami yang marah, bahkan saya pun marah dengan bahasa Indonesia, yang sudah pasti dia tidak tahu kalau saya mengumpat-ngumpat. Edan!! Untuk sejarak yang tidak sampai 2 kilo kita harus membayar 370.000 VND atau $18, atau Rp.180.000, Huh!! Kami pun mengumpat-ngumpat sepanjang jalan menuju rumah makan, yang kami sesalkan lagi, rumah makan itu tutup.
Tertarik dengan topik ini? Baca juga artikel Traveling Mancanegara lainnya di Wisatasiana untuk wawasan lebih luas:
- Tontonan Kolosal Sejarah Thailand di Siam Niramit
- Jalan-jalan Ke Kota Vatikan
- Traveling ke Kota Pisa Tempatnya Galileo-Galilei
Untungnya kami melihat Circle K. Kami pun membeli beberapa sandwich dan beberapa botol air mineral, dan beranjak pulang ke hotel dengan jalan kaki. Kembali kami mengumpat-umpat ternyata jarak Circle K dengan Hotel kami hanya berjarak 500 meter. Hmm.. Mungkin ini bagian dari petualangan pertama kami.
Kami merencanakan untuk chek out dari hotel tersebut esok pagi, kami berencana untuk mencari guest house yang mungkin bisa lebih murah dari hotel yang saat itu kami tempati. Setelah bersih-bersih, dan sebagainya, kami kembali membaca buku Lonely Planet dan peta untuk rencana esok hari. Akan kemana kita dan bagaimana kami catat semuanya dalam secarik kertas. Yang jelas NO
TAXI.
Pengalaman di Ho Chi Minh City (kota Saigon)