Menelusuri Pantai Barat Banda Aceh Menuju Meulaboh

Jarak antara Banda Aceh ke Meulaboh sekitar 250 kilometer dapat ditempuh kurang lebih 5 jam. Kondisi jalur barat Aceh relatif sepi, bukan seperti pantai timur yang lebih ramai karena menjadi jalur transportasi Banda Aceh menuju Medan dan didominasi oleh kendaraan berat seperti truk dan bus. Namun penuh pesona pemandangan alam yang sangat memanjakan mata.

Puncak Geurute, Aceh Jaya

Untuk menuju kesana kami melewati Bukit Barisan dan Pengunungan Paro. Ada hal unik di jalur pegunungan ini, sepanjang jalan menanjak dengan sisi kanannya jurang, terlihat kera-kera berkeliaran di sekitar jalan. Kami berhenti sejenak, tanpa diduga serombongan kera langsung berkumpul dan menjulurkan tangan seakan meminta makanan yang kami bawa.

Puncak Geurute, Aceh Jaya

Memang jalur pegunungan ini menjadi lintasan jalan nasional menuju kawasan barat selatan Aceh. Geurute juga merupakan bagian dari hutan Ulu Masen yang dinobatkan sebagai salah satu hutan penyuplai oksigen dunia. Gunung ini punya jurang yang sangat dalam dan langsung berbatasan dengan bibir pantai Samudra Hindia.

Ciri khas dari Geurute ialah sebuah monumen berbentuk runcing sebagai tanda bahwa pengunjung berada pada posisi pendakian tertinggi pegunungan tersebut. Dari tempat itulah, siapapun dapat melihat keindahan alam yang terhampar luas.

Tiba di puncak Gunung Geurute, kita melihat bentangan samudera begitu luas, pulau-pulau kecil tanpa penghuni. Puncak Gunung Geurute juga merupakan salah satu spot favorit bagi penghobi fotografi karena dari puncak terlihat indah pemandangan matahari terbenam yang ditelan samudera. Karena menjadi lintasan jalan nasional menuju kawasan barat dan selatan Aceh, kawasan Gunung Geurute kerap menjadi tempat persinggahan bagi yang melakukan perjalanan jauh.

Namun ada juga yang sengaja datang menikmati pemandangan laut dari pinggir-pinggir tebing. Mereka menikmati keindahan panorama gunung ini, sambil menyeruput kopi Aceh karena ada beberapa warung kopi yang menyediakan kopi khas Aceh dan juga juga menjajakan minuman seperti kelapa muda dan makanan lainnya dengan harga terbilang murah.

Kuliner Kuah Cue Aceh Jaya

Kuliner Kuah Cue Aceh Jaya

Setelah puas berfoto dan memandang panorama alam di puncak Geurute, perjalan kami lanjutkan, kali ini perjalanan lebih didominasi kondisi jalan menurun hingga ke daerah Lhoknga. Tiba di Lhoknga kami singgah di rumah makan yang menjadi tujuan wisata kuliner banyak orang karena menu andalannya.

Iya di sini menu andalannya adalah kuah cue. Kuah cue semacam tutut jika di Jawa namun bentuknya panjang, cara makannya pun sama seperti tutut yang disedot atau dicungkil. Makanan ini disuguhi dan dicampur dengan sayur yang mirip sayur lodeh, rasanya yang gurih dan pedas membuat lidah selalu penasaran.

Oh ya, untuk wilayah Aceh barat khususnya Meulaboh jenis makanannya cenderung pedas jadi bagi yang tidak suka pedas sebaiknya bertanya dulu agar tidak merasa kepedasan saat menyantap makanan di Meulaboh.

Untuk satu porsi kuah cue bisa dimakan berdua, tetapi bagi yang suka satu porsi bisa dihabiskan sendiri karena porsinya terbilang sedang. Di warung makan ini juga tersedia menu lainnya, seperti ayam goreng kampung dan berbagai jenis ikan sungai yang dimasak dengan bumbu semacam gulai.

Sempat berbincang-bincang dengan pemilik rumah makan ini, bahwa sudah berdiri selama 15 tahun dan peminat kuah cue semakin hari semakin bertambah, dalam sehari rumah makan ini bisa menghabiskan 7-8 karung ukuran 20 kg yang disetor oleh para pencari cue di sungai-sungai sekitar Loknga.

Setelah perut terisi dengan makanan tradisional perjalanan dilanjutkan menuju Meulaboh. Jarak yang harus kami tempuh masih jauh dan perjalanan pun relatif sepi. Nah inilah uniknya pesisir barat Aceh, di sepanjang perjalanan kita akan banyak bertemu dengan sapi dan kerbau yang lalu lalang di pinggir jalan bahkan sekali-kali mereka menyeberang jalan. Jumlahnya pun tidak sedikit dan itu akan kita jumpai sepanjang jalan, dibutuhkan ekstra hati-hati untuk melintas daerah ini. Perjalanan yang unik bukan.

Beberapa puluh kilometer perjalanan, kami mampir ke taman bunga yang menjadi destinasi wisata baru bagi masyarakat sekitar, yaitu Taman Bunga Celocia Garden. Bunga-bunga merah dan kuning yang mekar selama enam bulan ini sangat indah dipandang mata, dan tak heran banyak pengunjung berfoto ria, tiket masuknya pun tidak terlalu mahal hanya 10 ribu rupiah saja.

Penangkaran Penyu Pasie Aron Meubanja

Penangkaran Penyu Pasie Aron Meubanja

Masih di daerah yang sama, kami sempatkan berkunjung ke penangkaran penyu yang kebetulan saat itu akan ada pelepasan tukik atau anak penyu yang baru saja menetas. Menurut Bang Dedi selaku Ketua Komunitas Penangkaran Penyu Pasie Aron Meubanja, wilayah Aceh menjadi salah satu tujuan penyu untuk bertelur.

Pada bulan Maret hingga Agustus adalah musim bertelur mereka, maka di bulan itu beberapa penyu akan datang untuk bertelur di pantai tersebut. banyaknya perburuan telur penyu menjadi kendala bagi komunitas ini, dengan kerja keras dan rutinnya sosialisasi yang mereka berikan akhirnya masyarakat sekitar kini telah sadar akan kelestarian hewan penyu.

Kami juga mendapat kesempatan melepas anak penyu (tukik) di pantai bersama beberapa kru Daai TV yang kebetulan juga meliput. Puas dengan pelepasan tukik ke laut, perjalanan kami lanjutkan menuju Meulaboh, jaraknya tidak jauh lagi atau sekitar satu jam perjalanan.

Tepat pukul 8 malam kami tiba di Meulaboh. Sebagai ibu kota Kabupaten Aceh Barat, Meulaboh telah merecovery diri setelah 15 tahun lalu luluh lantah disapu tsunami. Jalanan kotanya ramai dan denyut perdagangan begitu terasa seakan-akan peristiwa yang memilukan hati di Desember 2004 itu tak pernah terjadi. Tidak seperti di Banda Aceh, dalam perjalanan saya mengitari Meulaboh tidak banyak peninggalan tsunami yang tersisa untuk dijadikan monumen pengingat peristiwa itu di kota kelahiran pahlawan nasional Teuku Umar.

Penat seharian menelusuri Pantai Barat Aceh, kami pun beristirahat di sebuah cafe terbilang besar untuk kota Meulaboh. Seperti kota di pesisir pantai, Meulaboh juga banyak terdapat warung-warung kopi. Memang Aceh terkenal akan kopinya yang mendunia karena rasa dan aromanya, maka tidak heran kalau kedai kopi dapat kita jumpai di setiap sudut kota. Kedai-kedai kopi itu selain untuk menikmati kopi pilihan, juga dipakai untuk bersosialisasi oleh masyarakat setempat. Berbagi cerita, menggali berita atau sekedar menjaga silaturahmi, dapat dilakukan di kedai kopi ini.

Saat istirahat di cafe pun kami disarankan untuk mencoba kopi sanger, kopi ini merupakan sajian khas Aceh yang mirip cappucino namun jauh lebih nikmat. Rasanya yang khas membuat orang yang mencicipinya langsung jatuh hati, benar saja saat teman kami mencoba rasanya sungguh beda dengan kopi lain, dan ini menjadi kopi wajib yang harus dinikmati jika ke Meulaboh.

Menikmati kopi sanger tidak terasa jam menunjukan pukul 10 malam, memang untuk wilayah barat Indonesia apalagi Aceh, jam 10 terasa masih sore karena waktu Sholat Isya pun dilaksanakan jam 8 lewat, jadi jangan kaget kalau jam 10 atau 11 masih terasa ramai di kota Meulaboh. Namun bagi kami yang telah menempuh perjalanan seharian badan terasa sudah sangat penat dan butuh istirahat, kami pun langsung menuju penginapan untuk kembali beraktifitas besok pagi di kota Meulaboh.

 

Menelusuri Pantai Barat Banda Aceh Menuju Meulaboh

Recommended For You

About the Author: Wisatasiana

Sekedar berbagi kisah perjalanan wisata dan informasi tentang pariwisata secara umum

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *